Jumat, 07 September 2018

WAGE KERAMAT, RITUAL TOLAK BALAK SUMPAH LEMBU SURO

Wage Keramat mungkin belum cukup familiar bagi masyarakat di luar Kediri. Bagi masyarakat di sekitar lereng gunung Kelud, ritual tersebut bukanlah hal baru. Upacara adat tersebut dikaitkan dengan sosok Lembu Sura yang tersohor di hampir semua masyarakat di lereng Kelud.
Wage Keramat dan Lembu Sura ibarat dua sisi mata koin, sebab keduanya miliki benang merah terkait gunung Kelud, salah satu gunung api paling aktif di Jawa Timur.
Wilayah gunung tersebut meliputi tiga kabupaten yaitu Kediri, Blitar dan Malang. Di Kediri, gunung Kelud merupakan salah satu objek wisata paling digandrungi oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan gunung Kelud tak hanya memiliki pemandangan eksotis, namun juga kental akan  kisahnya yang melegenda.
Gunung Kelud menjadi saksi kisah seorang Putri Kediri yang menarik janjinya. Putri cantik jelita itu bernama Dewi Kili Suci, putri Raja Erlangga penguasa kerajaan Kediri. Selain tersohor dengan kecantikannya, Dewi Kili Suci juga terkenal sebagai seorang pertapa yang enggan mewarisi tahta kerajaan. Ia lebih suka menyendiri menghabiskan waktunya di Gua Selomangkleng, tempat ia bertapa. Gua tersebut letaknya di sebelah barat kota Kediri.
Semua pesona yang ia miliki itu telah menggoda para raja untuk mempersuntingnya, di antaranya adalah Lembu Sura dan Mahesa Suro. Namun, Dewi Kili Suci menolak dengan memberikan sayembara yang mustahil untuk dilakukan oleh manusia biasa.
Mereka diminta untuk membuat sumur di puncak gunung Kelud. Sumur tersebut kriterianya satu harus berbau wangi dan yang satu berbau amis. Dua pekerjaan ini harus mampu diselesaikan dalam waktu satu malam sebelum ayam jantan berkokok.
Meski sudah berhasil memenuhi permintaan tersebut, Dewi Kili Suci masih mengajukan permintaan agar mereka masuk ke dalam sumur. Hal ini demi membuktikan bahwa sumur itu benar-benar berbau amis dan wangi.
Keduanya terperdaya dan menerjunkan diri dalam kedalaman sumur. Tanpa mereka sadari, Dewi Kili Suci memerintahkan para prajuritnya untuk menimbun keduanya dengan batu. Maka pada ucapan sumpah dari Lembu Sura menggema di saat-saat terakhir hidupnya, “Yohwong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku: Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung.”
[Hei, orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar, Kediri akan jadi sungai, Blitar akan jadi daratan dan Tulungagung menjadi danau.]
Sampai saat ini, sumpah tersebut masih dipercaya oleh masyarakatnya, terutama bagi masyarakat Kediri dan Sekitar gunung Kelud. Salah satu daerah yang berada di barat gunung Kelud bernama Wates (dalam Bahasa Indonesia berarti batas) juga dipercayai dahulunya sebagai daerah hutan yang dibuat oleh Dewi Kili Suci. Hutan ini sebagai bentuk antisipasi untuk menyelamatkan Kediri dari letusan gunung yang disebabkan amarah Lembu Sura.
Akibat Legenda yang mengiringi Gunung Kelud tersebut, warga sekitar mengadakan Wage Keramat. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh Masyarakat dari kalangan agama Hindhu-Buddha saja. Wage Keramat lebih seperti gotong royong masyarakat secara umum tanpa memandang agama. Ritual ini dimaksudkan sebagai tolak balak atas kutukan Lembu Sura.
Namun bagi masyarakat Hindu-Buddha, terdapat makna tersendiri dalam upacara ini. Bagi mereka, gunung dianggap sangat sakral, seperti gunung Kelud yang merupakan gunung tolak kejahatan. Ditinjau dari asal kata, Kelud berarti membersihkan. Dalam bahasa Jawa, Kelud juga berarti sapu atau kemoceng. Bagi masyarakat Hindu, upacara Wage Keramat ini digunakan sebagai bentuk rasa syukur pada Sang Hyang Widhi.
Upacara Wage Keramat dilaksanakan setiap bulan Sura pada pasaran Wage. Pemilihan bulan Sura tentu saja sebagai harapan dijauhkan dari terwujudnya sumpah Lembu Sura, sedangkan Wage adalah hari pasaran keempat penanggalan Jawa yang identik dengan meletusnya gunung Kelud.
Wage Keramat dimulai dengan kirab yang dipimpin oleh para sesepuh yang berada paling depan, bersama dengan sejumlah pria yang mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan blangkon. Kemudian disusul seorang perempuan yang diangkat menggunakan tandu, diiringi oleh para penari.
Di belakangnya,  para warga beramai-ramai mengarak hasil bumi yang dibentuk menjulang. Arakan ini terdiri dari buah-buahan dan berbagai macam sayuran.  Sesampainya di tempat,  mereka beradu cepat memperebutkan hasil bumi tersebut. Mereka percaya bahwa hasil bumi ini penuh dengan keberkahan.
Acara puncak  dimeriahkan oleh sejumlah pria memakai baju hitam lengkap dengan blangkon yang duduk bersimpuh di samping kawah. Di hadapan mereka terdapat  bertumpuk aneka sesaji yang berisi dua buah kelapa, kembang telon dan lainnya.
Sesaji ini nantinya akan dilarung di kawah gunung. Ini  sebagai wujud rasa syukur dan meminta perlindungan dari amarah Lembu Sura.
Biasanya, upacara ini dilakukan tepat di kawah gunung Kelud dengan prosesi Pakelem. Prosesi ini berupa melepas sesaji hasil bumi dan unggas. Namun, semenjak letusan yang terjadi pada 13 Februari 2014, kini warga memulai ritual di radius 3 km dari kawah gunung. Dilanjutkan dengan acara kirab sejauh satu setengah km ke atas sampai di atas jembatan Gladak. Jembatan ini diyakini masyarakat sebagai pintu gerbang kerajaan Kediri.
Bagi warga Blitar dan Kediri, fenomena Kelud yang meletus pada pasaran Wage bukanlah sesuatu yang baru. Kebiasaan tersebut sudah lama diketahui warga bahkan menjadi pengingat warga untuk terus waspada dan mempersiapkan diri.
Wage Keramat merupakan warisan budaya yang elok. Masyarakat diajak untuk melupakan sejenak berbagai perbedaan untuk kemudian berada dalam satu penghargaan terhadap alam. Terlepas dari legenda sumpah Lembu Sura, Wage Keramat memiliki unsur gotong-royong yang sangat nampak sebagai wujud menguatnya lokalitas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengupas Dalil-Dalil Seputar Busana Perempuan dalam Islam dan Penafsirannya

  source: Pixabay Kita mengenal Al-Qur’an dan Hadist sebagai rujukan utama dalam menentukan hukum Islam. Tata cara berpakaian hingga atrib...